Hutan Pinus Mangunan dan Desa Muntuk “Dekonstruksi”
Sesuatu yang lain berada dalam landscape hutan pinus, warna warna artifisial dalam hamparan alam yang menaklukkan. Bukankan posisinya seperti seni dalam masyarakat secara umum? Bukankah kita juga sesuatu yang asing? Ketertarikan masyarakat desa Muntuk terhadap warna sangat terlihat dari bagaimana rumah - rumah begitu terlihat sangat bercorak, berwarna, bertabrakan atau mungkin saling mengkombinasi. Hal tersebut yang kemudian memicu saya untuk mengaplikasikan ragam warna tersebut kedalam medium batu giring yang secara fungsional keberadaannya sebagai penanda jalan “yang lain”. “Surat untuk Tuhan” adalah tema yang kemudian saya munculkan dalam karya ini, untuk warga dapat berpatisipasi dengan menuliskan di batu-batu giring, dan dapat juga dapat merasa memiliki karena ikut ambil bagian dalam pembuatan karya ini.
Sesuatu yang lain berada dalam landscape hutan pinus, warna warna artifisial dalam hamparan alam yang menaklukkan. Bukankan posisinya seperti seni dalam masyarakat secara umum? Bukankah kita juga sesuatu yang asing? Ketertarikan masyarakat desa Muntuk terhadap warna sangat terlihat dari bagaimana rumah - rumah begitu terlihat sangat bercorak, berwarna, bertabrakan atau mungkin saling mengkombinasi. Hal tersebut yang kemudian memicu saya untuk mengaplikasikan ragam warna tersebut kedalam medium batu giring yang secara fungsional keberadaannya sebagai penanda jalan “yang lain”. “Surat untuk Tuhan” adalah tema yang kemudian saya munculkan dalam karya ini, untuk warga dapat berpatisipasi dengan menuliskan di batu-batu giring, dan dapat juga dapat merasa memiliki karena ikut ambil bagian dalam pembuatan karya ini.
Hutan pinus dan Gunung Langgeran “Representasi”
Pernyataan fotografi sebagai representasi dari kenyataan mungkin sudah sering kita dengar, bagaimana fotografi dilihat sebagai medium yang tunggal. Karya ini muncul bersamaan sebagai bentuk komparasi terhadap metode lain dalam melihat landscape. Saya tertarik dengan perilaku orang memperlakukan alam dalam framing fotografi. Mereka –reka bukan lagi mengalami, keberadaannya yang semu, atau mungkin sebenarnya tidak pernah hadir.
Pernyataan fotografi sebagai representasi dari kenyataan mungkin sudah sering kita dengar, bagaimana fotografi dilihat sebagai medium yang tunggal. Karya ini muncul bersamaan sebagai bentuk komparasi terhadap metode lain dalam melihat landscape. Saya tertarik dengan perilaku orang memperlakukan alam dalam framing fotografi. Mereka –reka bukan lagi mengalami, keberadaannya yang semu, atau mungkin sebenarnya tidak pernah hadir.
Kali Oyo “Simulasi”
Karya ini adalah usaha untuk membawa ketertarikan personal menjadi ketertarikan bersama. Saya tertarik dengan estetika batu akik semenjak umur belasan, dan kemudian ketertarikan tersebut seolah hilang terlupakan. Ketertarikan itu muncul kembali secara tidak sengaja ketika berkunjung ke Kali Oyo dan melihat beragam batu bercorak, fosil, batu kaca; pengalaman pertama tersebut memunculkan perasaan ingin kembali dan terus mencari. Hal inilah yang kemudian saya ingin ceritakan, mungkin juga tularkan dalam karya ini, sebuah landscape bukan hanya hamparan luas alam, tapi apa saja detail yang hadir didalamnya menjadi sesuatu yang tak terpisahkan.
Karya ini adalah usaha untuk membawa ketertarikan personal menjadi ketertarikan bersama. Saya tertarik dengan estetika batu akik semenjak umur belasan, dan kemudian ketertarikan tersebut seolah hilang terlupakan. Ketertarikan itu muncul kembali secara tidak sengaja ketika berkunjung ke Kali Oyo dan melihat beragam batu bercorak, fosil, batu kaca; pengalaman pertama tersebut memunculkan perasaan ingin kembali dan terus mencari. Hal inilah yang kemudian saya ingin ceritakan, mungkin juga tularkan dalam karya ini, sebuah landscape bukan hanya hamparan luas alam, tapi apa saja detail yang hadir didalamnya menjadi sesuatu yang tak terpisahkan.