Through The Eye of Beholder
Framing dalam fotografi dianggap sebuah cara bagaimana seseorang pemotret menetukan agenda dan cara pandangnya. Pemotret memiliki kuasa atas apa yang akan dia masukkan kedalam frame dan apa yang tidak. Apa yang didalam frame itulah yang akan menentukan bagaimana foto itu akan dimaknai oleh pemirsa. Dalam konteks Pameran Meminjam Mata dan Melihat Ruang oleh Fehung ini, menurutku, hal ini tidak tepat seperti itu, malah sebaliknya. Foto-foto Fehung ini ditentukan oleh apa yang tidak ada didalamnya. Jika kita mengenal logika Kress and Leeuwen (dalam Reading Images: The Grammar of Visual Design) tentang representasi naratif; maka apa yang disebut dengan vektor disini adalah hubungan antara objek objek didalam foto (frame sebagaimana yang diajukan oleh Fehung) dengan subjek yang tidak dihadirkan disitu (yang dihilangkan oleh Fehung). Bidang putih ditengah frame itu, dalam logika Fehung ini, menentukan bagaimana kita melihat tumpukan buah-buahan, daging ayam, celana dalam perempuan... dus menentukan pula bagaimana sudut pandang pemilik mata yang dipinjam Fehung.
Dengan menghilangkan objek-objek ditengah itu, Fehung seolah memberikan ruang bagi pemirsa untuk mengisinya dengan apapun dari memori mereka. Karya ini seolah mampu menggambarkan bagaimana cara kerja otak kita dalam memahami realitas. Realitas (lebih tepatnya Perceptual Reality) itu selalu merupakan kerja bersama antara indera dan ingatan; ketika ada sebuah hal untuk dimengerti / dicerap indera, maka otak kita akan secara otomatis membongkar koper ingatan dan menampilkan disitu bercampur aduk dengan sensasi inderawi, dan me-rendernya menjadi apa yang kita sebut dengan kenyataan.
Jadi, aku tidak hanya melihat pendekatan Fehung ini sebagai sekedar bentuk sudut pandang. Tapi merupakan sebuah ajuan atas bagaimana fotografi bisa dipakai dalam proses belajar berempati. Problem terbesar hubungan antar manusia adalah empati, bagaimana salah satu karakter paling manakutkan dari kepribadian manusia yang disebut psikopat didefinisikan (salah satunya) sebagai kurang / tidak adanya kemampuan untuk berempati. Karya karya Fehung ini mengajak pemirsa untuk berempati dengan mengisi bidang bidang putih ditengah setiap fotonya dengan apapun dari pengalaman hidup dan pengetahuan yang telah kita dapatkan disepanjang hidup kita.
Selamat mencoba.
Akiq AW
Framing dalam fotografi dianggap sebuah cara bagaimana seseorang pemotret menetukan agenda dan cara pandangnya. Pemotret memiliki kuasa atas apa yang akan dia masukkan kedalam frame dan apa yang tidak. Apa yang didalam frame itulah yang akan menentukan bagaimana foto itu akan dimaknai oleh pemirsa. Dalam konteks Pameran Meminjam Mata dan Melihat Ruang oleh Fehung ini, menurutku, hal ini tidak tepat seperti itu, malah sebaliknya. Foto-foto Fehung ini ditentukan oleh apa yang tidak ada didalamnya. Jika kita mengenal logika Kress and Leeuwen (dalam Reading Images: The Grammar of Visual Design) tentang representasi naratif; maka apa yang disebut dengan vektor disini adalah hubungan antara objek objek didalam foto (frame sebagaimana yang diajukan oleh Fehung) dengan subjek yang tidak dihadirkan disitu (yang dihilangkan oleh Fehung). Bidang putih ditengah frame itu, dalam logika Fehung ini, menentukan bagaimana kita melihat tumpukan buah-buahan, daging ayam, celana dalam perempuan... dus menentukan pula bagaimana sudut pandang pemilik mata yang dipinjam Fehung.
Dengan menghilangkan objek-objek ditengah itu, Fehung seolah memberikan ruang bagi pemirsa untuk mengisinya dengan apapun dari memori mereka. Karya ini seolah mampu menggambarkan bagaimana cara kerja otak kita dalam memahami realitas. Realitas (lebih tepatnya Perceptual Reality) itu selalu merupakan kerja bersama antara indera dan ingatan; ketika ada sebuah hal untuk dimengerti / dicerap indera, maka otak kita akan secara otomatis membongkar koper ingatan dan menampilkan disitu bercampur aduk dengan sensasi inderawi, dan me-rendernya menjadi apa yang kita sebut dengan kenyataan.
Jadi, aku tidak hanya melihat pendekatan Fehung ini sebagai sekedar bentuk sudut pandang. Tapi merupakan sebuah ajuan atas bagaimana fotografi bisa dipakai dalam proses belajar berempati. Problem terbesar hubungan antar manusia adalah empati, bagaimana salah satu karakter paling manakutkan dari kepribadian manusia yang disebut psikopat didefinisikan (salah satunya) sebagai kurang / tidak adanya kemampuan untuk berempati. Karya karya Fehung ini mengajak pemirsa untuk berempati dengan mengisi bidang bidang putih ditengah setiap fotonya dengan apapun dari pengalaman hidup dan pengetahuan yang telah kita dapatkan disepanjang hidup kita.
Selamat mencoba.
Akiq AW
Memandang bingkai dan memandang melalui bingkai
Budi N.D. Dharmawan
Fotografi adalah perkara membingkai: Apa yang ada di depan kamera direkam ke dalam bidang bersisi empat. Jurufoto memilih, sadar atau bawah sadar, sebagian saja dari apa yang tersaji di hadapannya dan membingkainya di dalam sebuah foto; menentukan apa yang hendak ditampilkan di dalam sebingkai foto dan apa yang tidak.
Di dalam komposisi fotografi, kita mengenal istilah “framing,” yaitu pemanfaatan unsur pada latar depan untuk membingkai unsur lain pada latar belakang, di dalam sebuah foto. Sementara itu, foto sendiri adalah sebuah bingkai untuk melihat dunia, sehingga teknik framing ini dikenal pula dengan istilah “frame within frame.” Penggunaan teknik ini biasanya perlu memperhatikan keterkaitan unsur latar depan dengan latar belakang, karena jika keduanya tidak nyambung, kehadiran latar depan sebagai pembingkai tadi malah jadi mengganggu.
Teknik pembingkaian di dalam bingkai foto inilah yang digunakan oleh Yudha Kusuma Putera, seniman muda yang biasa dipanggil Fehung, di dalam pameran Meminjam Mata dan Melihat Ruang ini. Di dalam setiap foto yang dipajang, Fehung kemudian menghilangkan bagian latar belakang yang dibingkai oleh latar depan, sehingga hanya tersisa unsur pembingkai itu sendiri.
Fehung adalah seorang anggota kelompok seniman berbasis fotografi di Yogyakarta, MES 56. Fehung lahir dan besar di Magelang, Jawa Tengah, dan telah tinggal di Yogyakarta sejak 2005 ketika dia masuk Jurusan Fotografi di Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dia telah memperoleh gelar sarjana seni dari kampusnya tahun ini.
Fehung mulai bergabung dengan MES 56 sejak berproses bersama kelompok ini di dalam pameran bertajuk New Folder (Ruang MES 56, Yogyakarta, 2011). Di dalam pameran bersama tiga seniman muda lainnya itu, Fehung memfoto anggota keluarganya di tengah zona nyaman mereka masing-masing. Ibunya, seorang ibu rumah tangga, di antaranya difoto di dapur dan di kebun. Sementara itu, ayahnya, seorang jurufoto studio yang sudah tidak aktif lagi, difoto memegang kamera di depan barang-barang dari bekas studionya, seperti reklame merk produk fotografi.
Menjelang akhir tahun itu juga, Fehung ikut memamerkan karyanya di Beyond Photography (Ciputra Artpreneur Center, Jakarta, 2011), sebuah pameran kelompok yang dikurasi bersama oleh Jim Supangkat dan Asmujo Jono Irianto. Di sini, Fehung menampilkan tiga foto yang diambil secara berurutan, menunjukkan proses larutnya suatu zat berwarna di dalam air berwadah kaca, dengan latar belakang sawah. Merespon tema beyond photography—apa pun maksud dan maknanya, yang memang dibebaskan oleh tim kurator untuk ditafsirkan oleh peserta pameran—Fehung coba menunjukkan rentang waktu melalui rangkaian foto ini.
Pertengahan tahun ini, Fehung menggelar pameran tunggal sebagai tugas akhir studinya, berjudul Patung Humor dan Terpal Plastik dalam Staged Photography (Lobi FSMR ISI, Yogyakarta, 2012). Di dalam pameran ini Fehung bermain-main dengan sisi humor di dalam fotografi, dengan mengambil inspirasi dari karya-karya seniman Austria, Erwin Wurm. Sesuai judulnya, Fehung membentuk “patung” dengan cara menutupi sosok orang di dalam fotonya menggunakan terpal plastik.
Di dalam karya-karyanya yang terdahulu, Fehung kerap menggunakan pendekatan performative dan staging. Hal ini cukup lazim, sebagaimana banyak seniman fotografi kontemporer Indonesia juga menggunakan pendekatan yang sama. Kelaziman ini diakui pula oleh Akiq A.W., seorang anggota lain MES 56 yang berperan sebagai kurator pameran ini, di dalam wicara seniman pamerannya di sebuah ruang seni di Bandung, beberapa pekan lalu.
Untuk pameran ini, Fehung memfoto sejumlah pemandangan (scene) di Kota Yogyakarta menggunakan teknik framing. Kemudian, seperti tertulis di atas, dia hilangkan bagian latar belakangnya, sehingga perhatian kita—mau atau tidak—tertuju pada unsur latar depan yang menjadi pembingkai di dalam bidang foto. Saya kira ini cukup berani, karena kali ini Fehung berkarya memakai pendekatan yang berbeda dari yang biasa dia gunakan.
Projek foto soal bingkai ini berawal dari keikutsertaan Fehung di dalam projek buku foto MES 56—secara individual, bukan sebagai kelompok. Buku-buku hasil projek Melawan Lupa ini lantas dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pertengahan tahun ini. Di dalam projek bukunya, yang kala itu dia beri judul Realise the Frame, Fehung melihat bahwa rutinitas turut menentukan sudut pandang kita, dan dengan demikian, menentukan pula benda-benda yang dapat dan tidak dapat kita lihat, dari sudut pandang tersebut.
Seorang pemilik atau penunggu toko, misalnya, selama bekerja hanya dapat melihat ke luar toko melalui pintu atau jendela, yang sering tertutup pajangan barang-barang dagangan, entah itu pakaian dalam perempuan, buah-buahan, maupun batu nisan. Atau juga penumpang becak dan penumpang andong, yang selama perjalanan pandangannya dibatasi oleh jendela dan tenda becak dan andong itu sendiri. Dari pengamatan ini, Fehung kemudian mengajak kita melihat bingkai, serta menyadari keberadaan dan konsekuensinya di dalam cara kita melihat ruang.
Saya melihat beberapa hal menarik di dalam seri ini. Pertama, pembicaraan soal bingkai itu sendiri. Secara pribadi, sebetulnya saya sering mengabaikan kehadiran bingkai di dalam kehidupan sehari-hari, karena dia begitu biasa dan tidak penting. Selama perjalanan darat menyusuri aliran Bengawan Solo setahun lalu, pandangan saya terbingkai jendela kendaraan yang saya tumpangi. Selama duduk makan di warung Mbak Wanti, di sebelah Ruang MES 56 lama, pandangan saya ke arah salon Mbak Uut di seberang jalan terbingkai jendela warung. Akan tetapi, bingkai-bingkai itu tidak hadir di dalam kesadaran saya.
Bingkai-bingkai tadi saya anggap tidak ada, karena bagi saya, yang penting untuk dilihat adalah apa yang terbingkai, bukan bingkainya. Fehung membalik anggapan ini dengan menghapus yang terbingkai dan, dengan demikian, memaksa kita untuk memperhatikan yang membingkai. Pembingkai kemudian menjadi lebih penting daripada yang terbingkai.
Lebih jauh lagi, Fehung juga menekankan soal intensitas waktu: Pandangan saya terbingkai jendela warung Mbak Wanti hanya selama saya duduk makan di situ, sementara pandangan Mbak Wanti telah terbingkai jendela warungnya sejak pertama dia membuka warung itu bertahun-tahun lalu. Tepat di sini pernyataan Fehung lalu memiliki gema: Sadarilah, pandanganmu terbatasi oleh jendela warung—baik saya maupun Mbak Wanti.
Kedua, hal yang juga menarik adalah sudut pandang. Tidak hanya membalik hubungan di antara pembingkai dengan yang terbingkai, Fehung juga membalik sudut pandang subjek dengan objek. Kebanyakan orang yang lalu-lalang di jalanan Yogyakarta saya kira kurang akrab dengan pemandangan-pemandangan yang ditawarkan Fehung di dalam seri ini, karena biasanya kita mengalaminya sebagai orang luar yang melihat ke dalam (subjek melihat objek). Melalui karya ini, Fehung meminjamkan kepada kita sudut pandang orang dalam yang melihat ke luar (objek yang tadinya dilihat kini menjadi subjek yang melihat).
Namun demikian, ada juga hal yang kurang saya sukai dari seri ini. Secara pribadi, saya agak terganggu dengan cara Fehung menghilangkan bagian latar belakang setiap fotonya, karena penghapusannya terlihat dilakukan dengan kasar. Hal ini pernah saya ungkapkan kepada Fehung secara langsung. Saya mengira karya ini belum selesai, karena pengerjaannya yang demikian kasar.
Fehung menjelaskan, potongan kasar di dalam karyanya itu berawal dari anggapan bahwa benda-benda yang menjadi bingkai di dalam foto tersebut akan terus bergerak, bertambah, atau berkurang. Jadi, potongan yang tidak tepat mengikuti garis luar benda-benda itu memang disengaja; untuk memberi ruang bagi kita agar dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain di dalam pergerakan benda-benda itu. Moga-moga maksud ini juga dapat dipahami oleh para pemirsa (pengunjung pameran).
Apa yang dilakukan Fehung terkait soal meminjam mata dan melihat ruang ini dapat dipahami sebagai salah satu cara untuk memperbincangkan soal cara pandang. Sekurang-kurangnya, itu yang saya dan Akiq A.W. rasakan ketika mengobrolkan karya ini. Pembahasan mengenai cara pandang tentu masih luas dan bisa dibicarakan melalui cara-cara lain. Gagasan tentang bingkai dan sudut pandang ini juga agak menggelitik saya untuk memperluas pembahasan hingga sedikit keluar dari visualisasi yang ditawarkan Fehung di dalam pameran ini.
Dunia ini tidak berbatas, sementara sudut pandang kita terbatas, demikian pula dengan medium yang kita gunakan. Sebuah foto selalu hadir dengan empat sisi pembatas bingkai. Ini membuat fotografi menjadi medium yang problematis. Sebingkai foto hanya merekam apa yang ada di depan kamera dan tidak yang di belakang, atas, bawah, kiri, ataupun kanan—serta apa yang ada sekarang dan bukan tadi atau nanti. Karena fotografi hanya dapat merekam sebagian saja dari kenyataan, ada yang kemudian mempertanyakan keabsahan kenyataan yang direkam di dalam sebingkai foto.
Ada pula yang memperdebatkan keabsahan sudut pandang yang dipilih di dalam merekam kenyataan tersebut; mana yang paling mewakili kenyataan yang direkam. Ini ada hubungannya dengan bagaimana fotografi telah dirayakan sebagai medium yang konon mampu merekam kenyataan secara paling mirip, sejak penciptaannya di Eropa pada abad kesembilan belas. Di dalam melihat kembali kenyataan yang direkam di dalam sebingkai foto, konteks pembuatan foto itu sendiri semestinya penting juga untuk ikut diperhatikan.
Bagaimana seorang jurufoto membingkai gambarnya dengan sudut pandang tertentu, bisa dilihat sebagai tindakan memisahkan objek yang dipilih dari konteks aslinya di dunia yang kacau-balau. Dengan demikian, memandang sebuah foto dapat membantu kita memusatkan perhatian pada objek tertentu di dalam foto itu; kita tidak perlu melihat hal-hal lain yang mengganggu perhatian kita. Bayangkan seorang gadis cantik, yang difoto dengan memasukkan pula puluhan orang lain di dalam bingkai foto, tentu sulit bagi kita untuk memusatkan perhatian pada gadis itu.
Di sisi lain, pembingkaian ini kemudian juga dapat memberikan konteks baru kepada objek tersebut. Ini terjadi karena pikiran kita lalu membangun makna baru bagi objek yang telah dipisahkan dari konteks aslinya tadi, baik konteks ruang maupun konteks waktu. Bayangkan gadis cantik tadi, kali ini difoto secara close up, lalu kita mulai memperhatikan rambutnya yang mengombak, senyumnya yang tanggung, matanya yang berkantung, gincunya yang entah memang tipis atau sudah mulai terhapus, dan kita mulai membayangkan siapa dia, apa yang dia lakukan, di mana dia berada, atau bahkan mengira-ngira kualitas lensa yang dipakai untuk memotretnya.
Ini contoh saja, karena makna memang tidak ada di dalam sebingkai foto; makna hadir di dalam pikiran pemirsanya—ini subjektif sekali. Subjektif pula, cara pandang yang ditawarkan oleh Fehung dengan cara meminjam mata orang lain untuk melihat ruang yang mereka alami.
Hal-hal inilah yang barangkali dapat saya tawarkan kepada para pemirsa (pengunjung pameran) sekalian di dalam melihat foto-foto Fehung yang terpajang di sini. Saya tidak bermimpi untuk dapat menyingkap makna-makna di dalam masing-masing bingkai foto yang dipamerkan. Biarlah makna-makna itu terbentuk di dalam benak para pemirsa masing-masing untuk kemudian dapat kita obrolkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya tuliskan beberapa kutipan yang terkait dengan obrolan kita.
“Where a painter starts with a blank canvas and builds a picture, a photographer starts with the messiness of the world and selects a picture.” Stephen Shore, di dalam buku The Nature of Photographs (Phaidon, 2010)
“You take 35 degrees out of 360 degrees and call it a photo. No individual photo explains anything. That’s what makes photography such a wonderful and problematic medium.” Joel Sternfeld, di dalam sebuah wawancara dengan Guardian, pada 2004
“Photography is about the frame you put around the image; what comes in and what is cut off. And yet the story doesn’t end. It’s told beyond the frame through a kind of intuition.” Joel Meyerowitz, di dalam serial The Genius of Photography (BBC, 2009)
“What is true of photographs is true of the world seen photographically.” Susan Sontag, di dalam buku On Photography (Penguin, 2008)
“Ketika kamera yang digunakan pada dasarnya mewakili mata manusia yang memotret, niscaya realitas atau pengetahuan itu adalah subjektif.” Seno Gumira Ajidarma, di dalam buku Kisah Mata (Galang Press, 2005) ∎
Budi Dharmawan, Yogyakarta, Desember 2012
Budi N.D. Dharmawan
Fotografi adalah perkara membingkai: Apa yang ada di depan kamera direkam ke dalam bidang bersisi empat. Jurufoto memilih, sadar atau bawah sadar, sebagian saja dari apa yang tersaji di hadapannya dan membingkainya di dalam sebuah foto; menentukan apa yang hendak ditampilkan di dalam sebingkai foto dan apa yang tidak.
Di dalam komposisi fotografi, kita mengenal istilah “framing,” yaitu pemanfaatan unsur pada latar depan untuk membingkai unsur lain pada latar belakang, di dalam sebuah foto. Sementara itu, foto sendiri adalah sebuah bingkai untuk melihat dunia, sehingga teknik framing ini dikenal pula dengan istilah “frame within frame.” Penggunaan teknik ini biasanya perlu memperhatikan keterkaitan unsur latar depan dengan latar belakang, karena jika keduanya tidak nyambung, kehadiran latar depan sebagai pembingkai tadi malah jadi mengganggu.
Teknik pembingkaian di dalam bingkai foto inilah yang digunakan oleh Yudha Kusuma Putera, seniman muda yang biasa dipanggil Fehung, di dalam pameran Meminjam Mata dan Melihat Ruang ini. Di dalam setiap foto yang dipajang, Fehung kemudian menghilangkan bagian latar belakang yang dibingkai oleh latar depan, sehingga hanya tersisa unsur pembingkai itu sendiri.
Fehung adalah seorang anggota kelompok seniman berbasis fotografi di Yogyakarta, MES 56. Fehung lahir dan besar di Magelang, Jawa Tengah, dan telah tinggal di Yogyakarta sejak 2005 ketika dia masuk Jurusan Fotografi di Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dia telah memperoleh gelar sarjana seni dari kampusnya tahun ini.
Fehung mulai bergabung dengan MES 56 sejak berproses bersama kelompok ini di dalam pameran bertajuk New Folder (Ruang MES 56, Yogyakarta, 2011). Di dalam pameran bersama tiga seniman muda lainnya itu, Fehung memfoto anggota keluarganya di tengah zona nyaman mereka masing-masing. Ibunya, seorang ibu rumah tangga, di antaranya difoto di dapur dan di kebun. Sementara itu, ayahnya, seorang jurufoto studio yang sudah tidak aktif lagi, difoto memegang kamera di depan barang-barang dari bekas studionya, seperti reklame merk produk fotografi.
Menjelang akhir tahun itu juga, Fehung ikut memamerkan karyanya di Beyond Photography (Ciputra Artpreneur Center, Jakarta, 2011), sebuah pameran kelompok yang dikurasi bersama oleh Jim Supangkat dan Asmujo Jono Irianto. Di sini, Fehung menampilkan tiga foto yang diambil secara berurutan, menunjukkan proses larutnya suatu zat berwarna di dalam air berwadah kaca, dengan latar belakang sawah. Merespon tema beyond photography—apa pun maksud dan maknanya, yang memang dibebaskan oleh tim kurator untuk ditafsirkan oleh peserta pameran—Fehung coba menunjukkan rentang waktu melalui rangkaian foto ini.
Pertengahan tahun ini, Fehung menggelar pameran tunggal sebagai tugas akhir studinya, berjudul Patung Humor dan Terpal Plastik dalam Staged Photography (Lobi FSMR ISI, Yogyakarta, 2012). Di dalam pameran ini Fehung bermain-main dengan sisi humor di dalam fotografi, dengan mengambil inspirasi dari karya-karya seniman Austria, Erwin Wurm. Sesuai judulnya, Fehung membentuk “patung” dengan cara menutupi sosok orang di dalam fotonya menggunakan terpal plastik.
Di dalam karya-karyanya yang terdahulu, Fehung kerap menggunakan pendekatan performative dan staging. Hal ini cukup lazim, sebagaimana banyak seniman fotografi kontemporer Indonesia juga menggunakan pendekatan yang sama. Kelaziman ini diakui pula oleh Akiq A.W., seorang anggota lain MES 56 yang berperan sebagai kurator pameran ini, di dalam wicara seniman pamerannya di sebuah ruang seni di Bandung, beberapa pekan lalu.
Untuk pameran ini, Fehung memfoto sejumlah pemandangan (scene) di Kota Yogyakarta menggunakan teknik framing. Kemudian, seperti tertulis di atas, dia hilangkan bagian latar belakangnya, sehingga perhatian kita—mau atau tidak—tertuju pada unsur latar depan yang menjadi pembingkai di dalam bidang foto. Saya kira ini cukup berani, karena kali ini Fehung berkarya memakai pendekatan yang berbeda dari yang biasa dia gunakan.
Projek foto soal bingkai ini berawal dari keikutsertaan Fehung di dalam projek buku foto MES 56—secara individual, bukan sebagai kelompok. Buku-buku hasil projek Melawan Lupa ini lantas dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pertengahan tahun ini. Di dalam projek bukunya, yang kala itu dia beri judul Realise the Frame, Fehung melihat bahwa rutinitas turut menentukan sudut pandang kita, dan dengan demikian, menentukan pula benda-benda yang dapat dan tidak dapat kita lihat, dari sudut pandang tersebut.
Seorang pemilik atau penunggu toko, misalnya, selama bekerja hanya dapat melihat ke luar toko melalui pintu atau jendela, yang sering tertutup pajangan barang-barang dagangan, entah itu pakaian dalam perempuan, buah-buahan, maupun batu nisan. Atau juga penumpang becak dan penumpang andong, yang selama perjalanan pandangannya dibatasi oleh jendela dan tenda becak dan andong itu sendiri. Dari pengamatan ini, Fehung kemudian mengajak kita melihat bingkai, serta menyadari keberadaan dan konsekuensinya di dalam cara kita melihat ruang.
Saya melihat beberapa hal menarik di dalam seri ini. Pertama, pembicaraan soal bingkai itu sendiri. Secara pribadi, sebetulnya saya sering mengabaikan kehadiran bingkai di dalam kehidupan sehari-hari, karena dia begitu biasa dan tidak penting. Selama perjalanan darat menyusuri aliran Bengawan Solo setahun lalu, pandangan saya terbingkai jendela kendaraan yang saya tumpangi. Selama duduk makan di warung Mbak Wanti, di sebelah Ruang MES 56 lama, pandangan saya ke arah salon Mbak Uut di seberang jalan terbingkai jendela warung. Akan tetapi, bingkai-bingkai itu tidak hadir di dalam kesadaran saya.
Bingkai-bingkai tadi saya anggap tidak ada, karena bagi saya, yang penting untuk dilihat adalah apa yang terbingkai, bukan bingkainya. Fehung membalik anggapan ini dengan menghapus yang terbingkai dan, dengan demikian, memaksa kita untuk memperhatikan yang membingkai. Pembingkai kemudian menjadi lebih penting daripada yang terbingkai.
Lebih jauh lagi, Fehung juga menekankan soal intensitas waktu: Pandangan saya terbingkai jendela warung Mbak Wanti hanya selama saya duduk makan di situ, sementara pandangan Mbak Wanti telah terbingkai jendela warungnya sejak pertama dia membuka warung itu bertahun-tahun lalu. Tepat di sini pernyataan Fehung lalu memiliki gema: Sadarilah, pandanganmu terbatasi oleh jendela warung—baik saya maupun Mbak Wanti.
Kedua, hal yang juga menarik adalah sudut pandang. Tidak hanya membalik hubungan di antara pembingkai dengan yang terbingkai, Fehung juga membalik sudut pandang subjek dengan objek. Kebanyakan orang yang lalu-lalang di jalanan Yogyakarta saya kira kurang akrab dengan pemandangan-pemandangan yang ditawarkan Fehung di dalam seri ini, karena biasanya kita mengalaminya sebagai orang luar yang melihat ke dalam (subjek melihat objek). Melalui karya ini, Fehung meminjamkan kepada kita sudut pandang orang dalam yang melihat ke luar (objek yang tadinya dilihat kini menjadi subjek yang melihat).
Namun demikian, ada juga hal yang kurang saya sukai dari seri ini. Secara pribadi, saya agak terganggu dengan cara Fehung menghilangkan bagian latar belakang setiap fotonya, karena penghapusannya terlihat dilakukan dengan kasar. Hal ini pernah saya ungkapkan kepada Fehung secara langsung. Saya mengira karya ini belum selesai, karena pengerjaannya yang demikian kasar.
Fehung menjelaskan, potongan kasar di dalam karyanya itu berawal dari anggapan bahwa benda-benda yang menjadi bingkai di dalam foto tersebut akan terus bergerak, bertambah, atau berkurang. Jadi, potongan yang tidak tepat mengikuti garis luar benda-benda itu memang disengaja; untuk memberi ruang bagi kita agar dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain di dalam pergerakan benda-benda itu. Moga-moga maksud ini juga dapat dipahami oleh para pemirsa (pengunjung pameran).
Apa yang dilakukan Fehung terkait soal meminjam mata dan melihat ruang ini dapat dipahami sebagai salah satu cara untuk memperbincangkan soal cara pandang. Sekurang-kurangnya, itu yang saya dan Akiq A.W. rasakan ketika mengobrolkan karya ini. Pembahasan mengenai cara pandang tentu masih luas dan bisa dibicarakan melalui cara-cara lain. Gagasan tentang bingkai dan sudut pandang ini juga agak menggelitik saya untuk memperluas pembahasan hingga sedikit keluar dari visualisasi yang ditawarkan Fehung di dalam pameran ini.
Dunia ini tidak berbatas, sementara sudut pandang kita terbatas, demikian pula dengan medium yang kita gunakan. Sebuah foto selalu hadir dengan empat sisi pembatas bingkai. Ini membuat fotografi menjadi medium yang problematis. Sebingkai foto hanya merekam apa yang ada di depan kamera dan tidak yang di belakang, atas, bawah, kiri, ataupun kanan—serta apa yang ada sekarang dan bukan tadi atau nanti. Karena fotografi hanya dapat merekam sebagian saja dari kenyataan, ada yang kemudian mempertanyakan keabsahan kenyataan yang direkam di dalam sebingkai foto.
Ada pula yang memperdebatkan keabsahan sudut pandang yang dipilih di dalam merekam kenyataan tersebut; mana yang paling mewakili kenyataan yang direkam. Ini ada hubungannya dengan bagaimana fotografi telah dirayakan sebagai medium yang konon mampu merekam kenyataan secara paling mirip, sejak penciptaannya di Eropa pada abad kesembilan belas. Di dalam melihat kembali kenyataan yang direkam di dalam sebingkai foto, konteks pembuatan foto itu sendiri semestinya penting juga untuk ikut diperhatikan.
Bagaimana seorang jurufoto membingkai gambarnya dengan sudut pandang tertentu, bisa dilihat sebagai tindakan memisahkan objek yang dipilih dari konteks aslinya di dunia yang kacau-balau. Dengan demikian, memandang sebuah foto dapat membantu kita memusatkan perhatian pada objek tertentu di dalam foto itu; kita tidak perlu melihat hal-hal lain yang mengganggu perhatian kita. Bayangkan seorang gadis cantik, yang difoto dengan memasukkan pula puluhan orang lain di dalam bingkai foto, tentu sulit bagi kita untuk memusatkan perhatian pada gadis itu.
Di sisi lain, pembingkaian ini kemudian juga dapat memberikan konteks baru kepada objek tersebut. Ini terjadi karena pikiran kita lalu membangun makna baru bagi objek yang telah dipisahkan dari konteks aslinya tadi, baik konteks ruang maupun konteks waktu. Bayangkan gadis cantik tadi, kali ini difoto secara close up, lalu kita mulai memperhatikan rambutnya yang mengombak, senyumnya yang tanggung, matanya yang berkantung, gincunya yang entah memang tipis atau sudah mulai terhapus, dan kita mulai membayangkan siapa dia, apa yang dia lakukan, di mana dia berada, atau bahkan mengira-ngira kualitas lensa yang dipakai untuk memotretnya.
Ini contoh saja, karena makna memang tidak ada di dalam sebingkai foto; makna hadir di dalam pikiran pemirsanya—ini subjektif sekali. Subjektif pula, cara pandang yang ditawarkan oleh Fehung dengan cara meminjam mata orang lain untuk melihat ruang yang mereka alami.
Hal-hal inilah yang barangkali dapat saya tawarkan kepada para pemirsa (pengunjung pameran) sekalian di dalam melihat foto-foto Fehung yang terpajang di sini. Saya tidak bermimpi untuk dapat menyingkap makna-makna di dalam masing-masing bingkai foto yang dipamerkan. Biarlah makna-makna itu terbentuk di dalam benak para pemirsa masing-masing untuk kemudian dapat kita obrolkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya tuliskan beberapa kutipan yang terkait dengan obrolan kita.
“Where a painter starts with a blank canvas and builds a picture, a photographer starts with the messiness of the world and selects a picture.” Stephen Shore, di dalam buku The Nature of Photographs (Phaidon, 2010)
“You take 35 degrees out of 360 degrees and call it a photo. No individual photo explains anything. That’s what makes photography such a wonderful and problematic medium.” Joel Sternfeld, di dalam sebuah wawancara dengan Guardian, pada 2004
“Photography is about the frame you put around the image; what comes in and what is cut off. And yet the story doesn’t end. It’s told beyond the frame through a kind of intuition.” Joel Meyerowitz, di dalam serial The Genius of Photography (BBC, 2009)
“What is true of photographs is true of the world seen photographically.” Susan Sontag, di dalam buku On Photography (Penguin, 2008)
“Ketika kamera yang digunakan pada dasarnya mewakili mata manusia yang memotret, niscaya realitas atau pengetahuan itu adalah subjektif.” Seno Gumira Ajidarma, di dalam buku Kisah Mata (Galang Press, 2005) ∎
Budi Dharmawan, Yogyakarta, Desember 2012
Meminjam Mata dan Melihat Ruang
Proses melihat tidak akan terlepas dari benda-benda disekitar dimana Dia berada.
Karya ini dilatarbelakangi oleh kesadaran akan benda-benda disekitar dengan keterkaitannya dengan sudut pandang manusia. Sudut pandang manusia melihat sekitar adalah dengan melihat dari posisi luar ke dalam, dalam karya ini saya memposisikan diri dengan sudut pandang terbalik, yaitu melihat dari dalam kemudian keluar “memakai mata dan berada di posisi subjek foto”. Sebagai contoh seorang pengemudi atau supir bus malam, yang melihat dunia dalam separuh hidupnya lewat bingkai kaca depan kendaraannya. Seorang pedagang daging ayam, yang menunggu pelanggannya berjam-jam lamanya, didepan dagangannya dan tentu sudut pandang itu “dalam bingkai”, menjadi keseharian dalam kehidupannya. Merupakan hal yang penting ketika dapat mengetahui apa yang orang lain selalu lihat dan mungkin rasakan dalam keseharian, mungkin karya yang ditampilkan juga merupakan keseharian, tapi mungkin dalam kesadaran yang lain.
Yudha Kusuma Putera “Fehung”
Proses melihat tidak akan terlepas dari benda-benda disekitar dimana Dia berada.
Karya ini dilatarbelakangi oleh kesadaran akan benda-benda disekitar dengan keterkaitannya dengan sudut pandang manusia. Sudut pandang manusia melihat sekitar adalah dengan melihat dari posisi luar ke dalam, dalam karya ini saya memposisikan diri dengan sudut pandang terbalik, yaitu melihat dari dalam kemudian keluar “memakai mata dan berada di posisi subjek foto”. Sebagai contoh seorang pengemudi atau supir bus malam, yang melihat dunia dalam separuh hidupnya lewat bingkai kaca depan kendaraannya. Seorang pedagang daging ayam, yang menunggu pelanggannya berjam-jam lamanya, didepan dagangannya dan tentu sudut pandang itu “dalam bingkai”, menjadi keseharian dalam kehidupannya. Merupakan hal yang penting ketika dapat mengetahui apa yang orang lain selalu lihat dan mungkin rasakan dalam keseharian, mungkin karya yang ditampilkan juga merupakan keseharian, tapi mungkin dalam kesadaran yang lain.
Yudha Kusuma Putera “Fehung”